Selasa, 03 Januari 2012

MAKALAH (MORALITAS EKONOMI)

BAB 1
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Persoalan ekonomi merupakan persoalan kebangsaan. Hari ini kita hidup di zaman yang menuntut kita untuk terus berlari dan  meringkas langkah. Dunia menjadi mesin-hasrat yang tak pernah lepas dari dahaga dan kita hampir tak berdaya untuk menginterupsi pasar.
Kehidupan berekonomi jadi kian mencekik. Langkah panjang menggapai kemakmuran diringkas dengan segala cara. Orang ramai-ramai menipu, membajak, dan menyuap. Perusahaan-perusahaan memanipulasi laporan keuangan dan mengemplang pajak. Sebagian yang lainnya berkolusi dengan rezim dan partai politik. Korporasi-korporasi raksasa membabat jutaan ribu hektare hutan dan meninggalkan kerowak yang menganga setelah sumber tambang dikuras habis. Kita menyaksikan praktik culas itu dengan telanjang dan terus terang.
Elemen ini harus diperhatikan dalam setiap fase pelayanan publik mulai dari penyusunan kebijakan pelayanan, desain struktur organisasi pelayanan, sampai pada manajemen pelayanan untuk mencapai tujuan akhir dari pelayanan tersebut.
Tulisan ini mencoba membahas konsep dan pentingnya etika mengenai ekonomi kebangsaan, pergeseran paradigma etika ekonomi kebangsaan, dilema dalam beretika, dan implikasinya bagi etika ekonomi kebangsaan di Indonesia
Dalam persoalan ekonomi bangsa ini, perbuatan melanggar moral atau etika sulit ditelusuri dan dipersoalkan karena adanya kebiasaan masyarakat kita melarang orang “membuka rahasia” atau mengancam mereka yang mengadu. Sementara itu, kita juga menghadapi tantangan ke depan semakin berat karena standard penilaian etika berekonomi terus berubah sesuai perkembangan paradigmanya. Dan secara substantif, kita juga tidak mudah mencapai kedewasaan dan otonomi beretika karena penuh dengan dilema. Karena itu, dapat dipastikan bahwa pelanggaran moral atau etika dalam persoalan aktivitas ekonomi di Indonesia akan terus meningkat.
Diharapkan secara profesional melaksanakannya, dan harus mengambil keputusan politik secara tepat mengenai siapa mendapat apa, berapa banyak, dimana, kapan, Padahal, kenyataan menunjukan bahwa pemerintah tidak memiliki tuntunan atau pegangan kode etik atau moral secara memadai. Asumsi bahwa semua aparat pemerintah adalah pihak yang telah teruji pasti selalu membela kepentingan masyarakatnya, tidak selamanya benar. Banyak kasus membuktikan bahwa kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih tinggi justru mendikte perilaku seorang birokrat atau aparat pemerintahan. Birokrat dalam hal ini tidak memiliki “independensi” dalam bertindak etis, atau dengan kata lain, tidak ada “otonomi dalam beretika”.

  1. Rumusan Masalah
Bagaimana aktivitas ekonomi bisa menjadi salah satu sarana membentuk masyarakat yang baik dan bermoral ?
Apa solusi dalam menghadapi delema masyarakat terhadap ekonomi pada saat sekarang ini?
  1. Manfaat danTujuan
Bagaimana ekonomi bisa menjadi pembentuk moralitas masyarakat dan bangsa ini sehingga mampu membentuk masyarakat yang baik dan mampu hidup sesuai dengan etika bermasyarakat.
Dengan tulisan ini, maka masyarakat akan menjadi memahami peranan aktivitas ekonomi terhadap kehidupan mereka sehingga mereka menjadi individu –individu yang sukses dan beretik
BAB II
             PEMBAHASAN
  1. Persoalan Ekonomi Bagi Kemakmuran Masyarakat
 Adam Smith, penulis buku monumental An Inquiry into the Nature and Cause of the Wealth of Nations (1776) oleh banyak pemikir ekonomi dewasa ini dianggap sebagai ”ayatollah” ekonomi modern. Gagasannya cukup menarik, ketika ia memaparkan secara ”lugu” perilaku manusia yang diasumsikannya bahwa; ”bukan demi kebaikan tukang roti-kita membeli roti, tetapi karena kepentingan diri kita sendiri”. Setiap orang jika dibiarkan bebas akan berusaha memaksimalkan kesejahteraannya sendiri, karena itu, jika semua orang dibiarkan bebas-akan memaksimalkan kesejahteraan mereka secara agregat. Smith, secara fundamental menentang setiap campur-tangan pemerintah dalam industri dan perniagaan, ia adalah seorang penganut paham perdagangan bebas dan penganut kebijakan ”pasar bebas” dalam ekonomi.
Melihat keinginan manusia untuk tetap berada dalam bingkai kefitrahan, maka dapat diasumsikan, bahwa di masa depan, walaupun masyarakat dewasa ini kian terjerat dan digelincirkan oleh perilaku yang sangat rentan bagi kemanusiaan, akan tetapi tetap ada peluang ajaran-ajaran moralitas untuk dijadikan etnri point. Tak pelak lagi, kalau memang kita ingin melihat potret masyarakat tampil dengan kinerja ynag ramah, jujur, adil dan sejahtera di masa depan, maka tidak boleh tidak, wacana moralitas harus selalu didengungkan. Bagaimanapun juga, dunia dewasa ini ternyata telah ”di-masinisi” oleh ”lokomotif” perilaku ekonomi, yang jika tidak diobati dengan nilai dan prinsip moralitas, maka yakinlah bola bumi kita akan hancur.
Namun demikian, bukan kita akan menepis perilaku ekonomi modern yang dimotivisir oleh semangat kapitalisme, akan tetapi kekurangan yang cukup besar dan membahayakan perilaku ekonomi itu, seperti munculnya keserakahan, arogansi, individualistik dan menghalalkan berbagai cara yang sudah disepakati oleh publik, bisa diperbaiki. Di sini, prinsip-prinsip Ilahiah tak akan terdengar, karena adanya kesombongan individual. Artinya, apa saja yang sudah disepakati oleh masyarakat, maka itulah yang harus dijalankan. Moralitas Islam sangat penting untuk diperdengarkan. Hanya saja persoalannya adalah, sejauh mana kemampuan umat Islam itu sendiri untuk tetap berwibawa menjalankan syariatnya, terutama yang berkaitan dengan perilaku ekonomi tersebut.
Saat ini secara kultural indonesia memiliki sejarah panjang dalam mengembangkan pranata dan kebangsaan dalam kehidupan sosial ekonomi walaupun bentuknya masih merupakan kearifan lokal untuk memecahkan masalah yang dihadapi masyrakat dalam zamannya. Secara umum kita menyepakati gotong royong sebagai suatu ciri kebangsaan masyarakat masyarakat yang mengurus ekonomi bersama dalam suatu tatanan masyarakat, kita jumpai dengan berbagai nama. Pada masa setelah kemerdekaan itu, bahkan di anggap sama gotong royong dengan nilai yang menjadi dasar dengan nilai yang menjadi koperasi. 
Kita juga tidak pernah mempertanyakan apakah gotong royong merupakan ciri kebudayaan yang inti atau sesuai dengan tantangan setempat. Pandangan lain mengatakan bahwa gotong ryong bukan khas indonesia bahkan tidak terdapat di sdudut indonesia. Harri T. Oshima, dengan teorinya moonson asia yang menjelaskan bahwa hubungan antara kebutuhan tenaga kerja musiman diwilayah pertanian padi dan pandangan hidup keluarga tentang anak, telah dijadikan dasar untuk menjelaskan kawasan Moonson tersebut.
Kawasan tersebut padat penduduk dan menghadapi problem industrialisasi. Hal ini erat kaitannya dengan perkembangan dan pertumbuhan kehidupan dalam kebangsaan indonesia. Pada sisi lain, sebenarnya telah lahir pemikiran dualisme tentang teori tentang pemikiran dualisme oleh booke dalam kehidupan perekonomian indonesia. Dualisme dalam konteks modal dinamika juga dapat diartikan sebagai suatu kemampuan antara kelompok ekonomi yang mampu menanggapi tuntutan pasar dengan mudah dan sebagian lain harus menanggapi dengan mempertahankan pranata kebangsaan yang ada.
Di indonesia pikiran untuk membangun sistem ekonomi yang sesuai dengan pikiran kita telah lama dipertimbangkan sebelum indonesia merdeka. Hatta mengatakan sejak masa penjajahan diciptakan bahwa indonesia merdeka di masa datang mestilah negara nasional yang bersatu dan tidak terpisah –pisah. Ia bebas dari penjajahan asing –politik maupun ideologi. Dasar –dasar pemikiran tentang keprimanusiaan harus terlaksana dalam segala sega kehidupan dalam hubungan antara individu dengan individu yang lain antara majikan dan guru antara bangsa dan bangsa. Nasional dalam arti membangun perekonomian rakyat bukan berarti membangun kapitalisme nasional. Dengan demikian elemen ekonomi humanistik untuk membangun ekonomi rakyat harus mampu mengatasi dan mengelola dan mengendalikan nafsu kapitalisme. Hal ini dapat dilakukan oelh landasan etik dan moral yang kuat bagi penyelenggara dan pelaku ekonomi
  1.  Aktivitas Ekonomi Sebagai Upaya Perbaikan Kebangsaan
Bangsa ini sedang mengalami krisis ekonomi terbukti dengan menurunnya Imflasi yang tak sewajarnya. Salah satu tokoh ekonomi mangatakan bahwa, Adam smith (1723-1790) adalah seorang Bapak Ilmu Ekonomi yang secara aklamasi diakui oleh para ekonomi. Beberapa karyanya yang luar biasa, menjadikan dirinya sebagai pencetus gagasan ilmu ekonomi hingga saat ini.
Sejarah mencatat, dasar ilmu ekonomi sebenarnya berasal dari filusuf yunani kuno. Berasal dari kata Oikos dan Nomos, yang berarti mengatur kehidupan rumah tangga, dikembangkan oleh Adam Smith menjadi sebuah gagasan aplikatif yang sedikit bertolak belakang dari akar perjuangan para filosuf tersebut. Sejak zaman yunani kuno hingga munculnya gagasan Adam Smith, ilmu ekonomi menggunakan dasar kekayaan alam (merkantilisme) sebagai indikator kesuksesan.
Pengembangan dari teori Adam Smith telah terjadi hingga saat ini, adanya isu tentang pasar bebas maupun kelompok perdagangan bebas antar negara atau beberapa negara, hingga mengarah kepada penjajahan model baru dalam kehidupan global saat ini sebagaimana yang disampaikan oleh John Perkins.
Pelayanan kebangsaan adalah suatu tindakan pemberian barang dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah dalam rangka tanggung jawabnya kepada bangsa, baik diberikan secara langsung maupun melalui kemitraan dengan swasta dan masyarakat, berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat, kemampuan masyarakat dan pasar. Konsep ini lebih menekankan bagaimana pelayanan pemerintah berhasil diberikan melalui suatu delivery system yang sehat.
Pelayanan kebangsaan ini dapat dilihat sehari-hari di bidang administrasi, keamanan, kesehatan, pendidikan, perumahan, air bersih, telekomunikasi, transportasi, bank,dan sebagainya. Tujuan pelayanan pemerintah adalah menyediakan barang dan jasa yang terbaik bagi masyarakat. Barang dan jasa yang terbaik adalah yang memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dalam konteks ini pelayanan bangsa lebih dititik beratkan kepada bagaimana elemen-elemen administrasi publik seperti policy making, desain organisasi, dan proses manajemen dimanfaatkan untuk mensukseskan pemberian pelayanan pemerintah.
  1. Solusi
Meskipun telah digambarkan bahwa dalam perkembangannya telah terjadi pergeseran paradigma pelayanan kebangsaan, namun itu tidak berarti bahwa paradigma yang terakhir mudah diimplementasikan. Mengapa? Karena didalam praktek kehidupan sehari-hari masih terdapat dilema atau konflik paradigmatis yang cenderung mendatangkan diskusi panjang. Dilema ini menyangkut pandangan absolutis versus relativis dan adanya hierarki etika.
Absolutis vs Relativis. Dalam sistem administrasi publik atau pelayanan publik telah dikenal norma-norma yang bersifat absolut dan relatif diterima orang. Norma-norma ini ada dan terpelihara sampai saat ini di semua atau hampir di semua masyarakat di dunia, yang berfungsi sebagai penuntun perilaku dan standard pembuatan keputusan. Kaum deontologis (salah satu pendekatan dalam etika) menilai bahwa normanorma ini memang ada hanya saja manusia belum sepenuhnya memahami, atau masih dalam proses pemahaman.
Sementara itu, ada juga yang kurang yakin dengan keabsolutan norma-norma tersebut. Mereka digolongkan sebagai kaum Relativis. Kaum teleologist (salah satu aliran /pendekatan dalam etika relativis) mengemukakan bahwa tidak ada “universal moral”. Suatu norma dapat dikatakan baik kalau memiliki konsekuensi atau outcome yang baik, yang berarti bahwa harus didasarkan pada kenyataan.
Implikasi dari adanya dilema diatas maka sulit memberi penilaian apakah aktor-aktor pelayanan publik telah melanggar nilai moral yang ada atau tidak, tergantung kepada keyakinannya apakah tergolong absolutis atau relativis. Hal yang demikian barangkali telah menumbuhkan suasana KKN di negeri kita. Persoalan moral atau etika akhirnya tergantung kepada persoalan “interpretasi” semata.
Hierarki Etika. Di dalam pelayanan publik terdapat empat tingkatan etika. Pertama, etika atau moral pribadi yaitu yang memberikan teguran tentang baik atau buruk, yang sangat tergantung kepada beberapa faktor antara lain pengaruh orang tua, keyakinan agama, budaya, adat istiadat, dan pengalaman masa lalu. Kedua adalah etika profesi, yaitu serangkaian norma atau aturan yang menuntun perilaku kalangan profesi tertentu.Ketiga adalah etika organisasi yaitu serangkaian aturan dan norma yang bersifat formal dan tidak formal yang menuntun perilaku dan tindakan anggota organisasi yang bersangkutan. Adanya hirarki etika ini cenderung membingungkan keputusan para aktor pelayanan publik karena semua nilai etika dari keempat tingkatan ini saling bersaing. Misalnya, menempatkan orang dalam posisi atau jabatan tertentu sangat tergantung kepada etika yang dianut pejabat yang berkuasa. Bila ia sangat dipengaruhi oleh etika sosial, ia akan mendahului orang yang berasal dari daerahnya sehingga sering menimbulkan kesan adanya KKN. Bila ia didominasi oleh etika organisasi, ia barangkali akan melihat kebiasaankebiasaan yang berlaku dalam organisasi seperti menggunakan sistim “senioritas” yang mengutamakan mereka yang paling senior terlebih dahulu, atau mungkin didominasi oleh sistim merit yang berarti ia akan mendahulukan orang yang paling berprestasi.
Dengan demikian, persoalan moral atau etika didalam konteks ini akhirnya tergantung kepada tingkatan etika yang paling mendominasi keputusan seorang aktor kunci pelayanan publik. Konflik antara nilai-nilai dari tingkatan etika yang berbeda ini sering membingungkan para pembuat keputusan sehingga kadang-kadang mereka menyerahkan keputusan akhirnya kepada pihak lain yang mereka percaya atau segani seperti pejabat yang lebih tinggi, tokohtokoh karismatik, “ orang pintar .” 
BAB III 
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Dalam praktek pelayanan publik saat ini di Indonesia, seharusnya kita selalu memberi perhatian terhadap dilema diatas. Atau dengan kata lain, para pemberi pelayanan publik harus mempelajari norma-norma etika yang bersifat universal, karena dapat digunakan sebagai penuntun tingkah lakunya. Akan tetapi normanorma tersebut juga terikat situasi sehingga menerima norma-norma tersebut sebaiknya tidak secara kaku. Bertindak seperti ini menunjukan suatu kedewasaan dalam beretika. Dialog menuju konsensus dapat membantu memecahkan dilema tersebut. Kelemahan kita terletak pada ketiadaan atau terbatasnya kode etik. Demikian pula kebebasan dalam menguji dan mempertanyakan norma-norma moralitas yang berlaku belum ada, bahkan seringkali kaku terhadap norma-norma moralitas yang sudah ada tanpa melihat  perubahan jaman. Kita juga masih membiarkan diri kita didikte oleh pihak luar sehingga belum terjadi otonomi beretika.
Kadang-kadang, kita juga masih membiarkan diri kita untuk mendahulukan kepentingan tertentu tanpa memperhatikan konteks atau dimana kita bekerja atau berada. Mendahulukan orang atau suku sendiri merupakan tindakan tidak terpuji bila itu diterapkan dalam konteks organisasi publik yang menghendaki perlakuan yang sama kepada semua suku. Mungkin tindakan ini tepat dalam organisasi swasta, tapi tidak tepat dalam organisasi publik. Oleh karena itu, harus ada kedewasaan untuk melihat dimana kita berada dan tingkatan hirarki etika manakah yang paling tepat untuk diterapkan. 
B. Saran
    Diantara kita semua ada pihak yang sangat peduli dengan nilai-nilai etika atau moral, melakukan pengaduan tentang pelanggaran moral. Mereka adalah pihak yang berani membongkar rahasia dan menguji tindakan-tindakan pelanggaran moral dan etika. Namun upaya untuk melakukan hal ini kadang-kadang dianggap sebagai upaya tidak terpuji, bahkan sering dikutuk perbuatannya, dan nasibnya bisa menjadi terancam. Pengalaman ini cenderung membuat mereka takut dan timbul kebiasaan untuk tidak mau “repot” atau tidak mau “berurusan” dengan hukum atau pengadilan, yang insentifnya tidak jelas. Akibatnya, peluang dari pihak-pihak yang berpengaruh dalam pelayanan publik terus terbuka untuk melakukan tindakan-tindakan pelanggaran moral dan etika. Karena itu, dalam rangka meningkatkan moralitas dalam pelayanan publiki, diperlukan perlindungan terhadap para pengadu, kalau perlu insentif khusus.

    Daftar Pustaka
    Bertens, K. 2000. Etika. Seri Filsafat Atma Jaya: 15. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka   Utama.
    Denhardt, Kathryn G. 1988. The ethics of Public Service. Westport, Connecticut: Greenwood Press.
    Henry, Nicholas. 1995. Public Administration and Public Affairs. Sixth Edition. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall International, Inc.
    Perry, James L. 1989. Handbook of Public Administration. San Fransisca, CA: Jossey- Bass Limited.
    Shafritz, Jay.M. dan E.W.Russell. 1997. Introducing Public Administration. New York, N.Y.: Longman.

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar